Dimana Allah? (Bag. 9) Hukum Bagi yang Mengingkari Sifat Al ‘Uluw dan Istiwa`

Telah berlalu sebagian ucapan para Imam tentang hal ini. Dan berikut ini beberapa tambahan dari ucapan para ‘ulama Ahlussunnah:

  1. Berkata Ibnu Khuzaimah –rahimahullah– “Siapa yang tidak mengatakan bahwa Allah itu berada di atas langit-Nya, tinggi dan menetap di atas ‘Arsy-Nya, berpisah dari makhluk-Nya, maka wajib dimintai tobat, apabila dia bertaubat maka diterima kalau tidak maka dipenggal lehernya kemudian dilemparkan ke tempat sampah agar manusia tidak terganggu dengan baunya.” (Disebutkan oleh Al Hakim dalam Ma’rifatil ‘Ulumul Hadits hal 152 dan Mukhtashar ‘Uluw hal 225)
  2. Perkataan Imam Abdurrahman bin Mahdy, sesungguhnya beliau berkata “Tidak ada pengikut hawa nafsu yang lebih jelek dari pengikut Jahm (Jahmiyah) yang menyatakan bahwa tidak ada di atas langit sesuatu apapun, saya berpendapat –demi Allah-, mereka ini tidak boleh dinikahi dan ditak boleh diwarisi.” (Lihat As Sunnah karya Imam ‘Abdullah bin Ahmad 1/120, Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah 1/220 dan lain-lain)
  3. ‘Abdurrahman bin Abi Hatim meriwayatkan –dalam kitab Ar Radd ‘Alal Jahmiyah– dari ‘Abdurrahman bin Mahdy bahwa beliau berkata “Pengikut Jahm mengatakan ‘sesungguhnya Allah tidak mengajak bicara Nabi Musa’ dan mereka mengatakan ‘tidak ada di atas langit sesuatu apapun dan bahwa Allah tidak berada di atas ‘Arsy.’ Saya berpendapat mereka harus dimintai taubat, kalau mereka bertaubat -maka itu yang diharapkan- dan bila tidak maka mereka harus dibunuh.” (Lihat Al Asma` wa Ash Shifat 1/286, Al ‘Uluw hal 118, Ijtima‘ul Juyusy hal 264 dan selainnya)
  4. Dari Al Ashma’iy dia berkata “Istri Jahm datang lalu singgah di tempat tukang samak maka berkatalah seorang lelaki disampingnya ‘Allah berada di atas ‘Arsy-Nya’ maka dia (istri Jahm) berkata ‘keterbatasan di atas keterbatasan’.” Maka berkata Al Ashma’iy “Dia (istri Jahm) kafir dengan perkataan seperti ini.” (Lihat Al ‘Uluw hal 118 dan Mukhtashar Al ‘Uluw hal 270)
  5. Imam Ad Darimy dalam kitabnya Ar Radd ‘Alal Jamiyah membuat bab khusus (dengan judul) Bab Argumen Tentang Pengkafiran Jahmiyah, dan di dalamnya (beliau mengatakan) “… dan kita mengkafirkan mereka juga karena mereka tidak tau dimana Allah, tidak mensifati Allah dengan ‘dimana’ padahal Allah telah mensifatkan diri-Nya dengan ‘dimana’ dan Ar Rasul –Shallallahu’alayhi wa sallam– juga mensifatkan Allah dengannya, maka Allah berfirman:

وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ

“Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya.” (QS. Al An’am: 18)

إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ

“Sesunggunya Aku akan mengambilmu[1] dan mengangkat kamu kepada-Ku.” (QS. Ali ‘Imran: 55)

يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ

“Mereka takut kepada Rabb mereka yang di atas mereka.” (QS. An Nahl: 50)

أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS. Al Mulk: 16)

Dan ayat-ayat yang semisalnya, maka ini semua adalah pensifatan dengan ‘dimana’, dan Rasulullah –Shallallahu’alayhi wa sallam– mensifati (Allah) dengan ‘dimana’ tatkala beliau bertanya kepada budak wanita yang hitam ‘Dimana Allah?’ dia menjawab ‘Di atas langit’ beliau berkata ‘Siapa saya?’ dia menjawab ‘Engkau adalah Rasulullah’ beliau lalu berkata ‘Bebaskan dia karena dia adalah seorang wanita yang beriman’. Dan Jahmiyah dikafirkan dengan hal ini dan ini juga termasuk dari kekufuran mereka yang jelas.”

Dan beliau berkata “Dan mereka (Jahmiyah) juga mengarahkan ibadah mereka kepada Ilah yang berada di bawah bumi yang paling bawah dan yang di atas permukaan bumi yang paling atas, di bawah langit yang ketujuh yang paling tinggi. Padahal sembahannya orang-orang yang shalat dari kalangan kaum mukminin yang mereka mengarahkan ibadah mereka kepada-Nya adalah Ar Rahman yang berada di atas langit yang tujuh yang paling tinggi dan Dia Tinggi dan Menetap di atas ‘Arsy-Nya yang sangat luas dan hanya milik-Nya nama-nama yang Husna (indah), Maha Berkah dan Tinggi nama-Nya. Maka kekafiran yang mana yang lebih jelas daripada yang kami hikayatkan dari mereka (Jahmiyah) selain dari (kekafiran) madzhab mereka.” (Lihat Ar Radd ‘Alal Jahmiyah hal 202-203)


[1]                  Ada pendapat yang mahsyur tentang مُتَوَفّيكَ yang pertama bermakna قَابِضُكَ (mengambilmu) dan yang kedua bermakna مُنِيْمُكَ (menidurkanmu)

2 comments on “Dimana Allah? (Bag. 9) Hukum Bagi yang Mengingkari Sifat Al ‘Uluw dan Istiwa`

Leave a comment